Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu

Translate

Minggu, 28 Februari 2016

TAHAPAN HAMBA ALLAH MENUJU MAKRIFATULLAH

Sebagaimana telah diterangkan di atas, bahwa Ma’rifat itu merupakan tujuan pokok, yakni mengenal Allah yang sebenar-benarnya dengan keyakinan yang penuh tanpa ada keraguan sedikitpun (haqqul yaqin). Menurut Imam Al-Ghazali : “ Ma’rifat adalah pengetahuan yang tidak menerima keraguan terhadap Zat dan Sifat Allah SWT “. Ma’rifat terhadap Zat Allah adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud Esa, Tunggal dan sesuatu Yang Maha Agung, Mandiri dengan sendiri-Nya dan tiada satupun yang menyerupai-Nya. Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui dengan sesungguhnya Allah itu Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dari mengetahui tentang Zat dan Sifat Allah, maka selanjutnya Al-Ghazalipun memberi kesimpulan bahwa : “ Ma’rifat adalah mengetahui akan rahasia-rahasia Allah, dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada “ lebih lanjut ditegaskannya bahwa : “ Ma’rifat itu adalah memandang kepada wajah Allah SWT “. Ma’rifat itu sendiri tidak dapat dipisahkan dengan Hakekat. Dengan kata lain datangnya ma’rifat adalah karena terbukanya Hakekat.
Taftazany menerangkan dalam kitab “Syarhul Maqasid” : “Apabila seseorang telah mencapai tujuan akhir dalam pekerjaan suluknya (ilallah dan fillah), pasti ia akan tenggelam dalam lautan tauhid dan irfan sehingga zatnya selalu dalam pengawasan zat Tuhan (tauhid zat) dan sifatnya selalu dalam pengawasan sifat Tuhan (tauhid sifat). Ketika itu orang tersebut fana (lenyap dari sifat keinsanan). Ia tidak melihat dalam wujud alam ini kecuali Allah (laa maujud ilallah).”
Dalam hal ini, seperti apa yang dialami oleh Imam Al-Ghazali dimana ketika orang mengira bahwa Imam Al-Ghazali telah wusul – mencapai tujuannya yang terakhir ke derajat yang begitu dekat kepada Tuhan, maka Imam Al-Ghazali berkata : “Barangsiapa mengalaminya, hanya akan dapat mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, utama dan jangan lagi bertanya”. Selanjutnya Imam Al-Ghazali menerangkan : “Bahwa hatilah yang dapat mencapai hakekat sebagaimana yang tertulis pada Lauhin Mahfud, yaitu hati yang sudah bersih dan murni. Tegasnya tempat untuk melihat dan Ma’rifat kepada Allah ialah hati.”
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya “Madarijus Salikin “ : “Ma’rifat adalah suatu kedudukan yang tinggi dari kedudukan orang-orang mu’min (disisi Allah) dan derajat yang tertinggi dari derajat orang-orang yang mendaki menuju alam surgawi “. Selanjutnya beliau berkata : “Bahwa seseorang tidak dikatakan memiliki ma’rifat terkecuali mengetahui Allah SWT melalui jalan yang mengantarkannya kepada Allah, mengetahui segala bentuk penyakit atau penghalang yang ada pada sisinya, yang mengakibatkan terhambatnya hubungan dirinya dengan Allah, yang mana kesemuanya itu ia saksikan dengan ma’rifatnya. Jadi, orang ma’rifat adalah orang yang mengetahui Allah melalui media nama-nama-Nya, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Kemudian berhubungan dengan Allah secara tulus, bersikap ikhlas dan sabar terhadap-Nya dalam menjauhi segala bentuk perbuatan maksiat serta meneguhkan niatnya. Berusaha untuk menanggalkan budi pekerti yang buruk serta penyakit yang merusak. Mensucikan dirinya dari berbagai bentuk kotoran dan kemaksiatan. Bersabar atas hukum-hukum Allah dalam menghadapi segala nikmat-Nya (tidak terlena), dan musibah yang menimpanya (tidak putus asa). Lalu berdakwah menuju jalan Allah berdasarkan pengetahuannya terhadap agama dan ayat-ayat-Nya. Berdakwah hanya menuju kepada-Nya dengan apa yang dibawa utusan-Nya (yaitu Nabi Muhammad SAW), dengan tidak ditambahi dengan pandangan-pandangan akal manusia yang sesat, kecendrungan-kecendrungan mereka dan hasil kreasi mereka, kaidah-kaidah dan logika-logika mereka yang menyesatkan. Dengan kata lain tidak mengukur risalah yang dibawa oleh Rasulullah dari Allah dengan kesemuanya itu diatas. Orang seperti inilah yang layak menyandang gelar sebagai orang yang ma’rifat kepada Allah, sekalipun banyak orang memberikan panggilan atau julukan yang lain kepadanya”.
Dibawah ini kami cantumkan beberapa khazanah perbendaharaan ma’rifat yang dihimpun oleh Prof. Dr. M. Faiz Al-Math dalam bukunya yang berjudul “Puncak Ruhani Kaum Sufi” diantaranya sebagai berikut :
1. Pendekatan kita kepada Allah adalah pendekatan ilmu, sebab mustahil terjadi suatu pendekatan kepada kebenaran Allah tanpa ilmu.
2. Barangsiapa yang mengenal Allah, maka ia akan menangkap kebesaran kuasa Allah dalam segala sesuatu. Jika ia yang selalu ingat (berzikir) kepada Allah, maka ia akan melupakan yang lain kecuali Allah. Dan siapa saja yang mencintai Allah, maka ia akan mencintai dan melaksanakan ajaran-Nya dan mencampakkan ajaran lain
3. Jika kita menginginkan pintu rahmat terbuka luas, resapilah dalam sanubari akan nikmat yang dianugerahkan Allah kepadamu. Dan jika kita berharap agar hati kita merasa takut akan siksa, renungilah kelalaian kita dalam mengabdi kepada – Nya.
4. Tanda-tanda seseorang ‘aulia’ yang arif adalah senantiasa memelihara rahasia antara dia dengan Allah, tangguh dalam menghadapi cobaan yang merintangi kehidupannya. Lebih-lebih pada cobaan yang diciptakan manusia ia selalu membalasnya dengan cara yang lebih bijaksana. Mengingat tingkat intelektual mereka (tiap orang) tidak sama.
5. Barangsiapa menyadari, bahwa Allah senantiasa mengingin kan kita menjadi orang baik dan Allah lebih memahami tentang hal-hal yang mengundang kemaslahatan, maka artinya kita mampu mensyukuri nikmat Allah dan berhati tentram.
6. Bila kita berkeinginan melacak sampai dimana derajat kita di sisi Allah, maka renungilah perbuatan kita sendiri kegigihan kita dalam beribadah dan sebagainya.
7. Ma’rifat terbangun atas tiga fondasi ; Takut kepada Allah, Malu kepada Allah dan Cinta kepada Allah.
8. Orang Arif adalah orang yang tidak pernah berhenti untuk berdzikir, tak enggan dalam menunaikan ibadah dan senang berdialog dengan Allah. Sehingga tercetak dalam lubuk hatinya sikap enggan bercengkrama dengan hal sia-sia yang tidak dilatarbelakangi manfaat agama.
9. Alangkah janggalnya jika seseorang yang telah menyaksikan ke Maha Kuasaan Allah, namun dia mendurhakai-Nya. Kemanakah dia akan lari untuk mencari tempat perlindu ngan, sedangkan ia menganggap bahwa Allah selalu mengawasi sepak terjangnya. Bagaimana akan berlalai-lalai jika ia merasakan nikmat Allah selalu datang silih berganti kepadanya.
10. Kearifan laksana tanah yang bisa diinjak-injak oleh orang baik dan buruk. Ia bagaikan awan yang mampu mengayomi segala sesuatu, dan bagaikan hujan yang akan jatuh kepada teman maupun lawan.
11. Kearifan, adalah bukanlah apa yang dapat dikeruhkan oleh segala sesuatu. Justru sebaliknya segala sesuatu akan tampak jernih.
12. Ma’rifat kepada Allah sebagai intensitas seseorang hingga menimbulkan rasa malu dalam hatinya, rasa malu kepada Allah yang didasarkan pada rasa mengagungkan. Sebagaimana tauhid merupaka pembangkit rasa puas (rela) terhadap takdir dan timbul rasa berserah diri kepada Zat Yang Maha Pengatur.
13. Ma’rifat, bila telah mendarah daging, maka menjadikan kehidupan seseorang akan jernih (tidak tertindih oleh kepedihan-kepedihan hidup) pencariannya akan bersih dari hal-hal atau unsur-unsur yang haram. Segala sesuatu akan segan kepadanya. Rasa takut kepada sesama mahluk akan lenyap dari hatinya dan akan cenderung untuk menyibukkan diri dalam ibadah kepada Allah.
14. Orang yang memandang sesuatu di dunia ini dari kaca mata ma’rifatnya, walau sesuatu itu dipandang, namun yang tergambar dalam benaknya adalah kekuasaan Allah. Oleh karena itu, mata boleh menangis lantaran melihat cobaan yang menimpa, namun hatinya bersukacita lantaran dosa-dosa yang telah lampau terhapuskan oleh musibah itu.
15. Belum merasa puas orang arif ketika ia meninggalkan dunia terhadap dua perkara, yaitu ; Meratapi terhadap kekurangan dalam beribadah dan Kurangnya banyak memuji Tuhannya.
Selanjutnya mengenai perjalanan menuju Allah sebagaimana tersebut di atas, dengan tahapan-tahapan atau tingkatan-tingkatan yaitu Syari’at, Thariqat, Hakekat, dan Ma’rifat M. S. Resa menyimpulkan dalam bukunya yang berjudul “Mencari Kemurnian Tauhid (Keesaan Allah)” sebagai berikut :
· Syari’at adalah perbuatan (jasad) si hamba dalam melaksanakan ibadah kepada Allah harus dengan semurni-murninya ibadah.
· Thariqat adalah jalan (hati) untuk menuju kesuatu tujuan yang diridhai Allah, dengan hati yang bersih dan ikhlas atas segala perbuatan dan menerima cobaan Allah SWT.
· Hakekat (nyawa) adalah tujuan untuk mencapai keridhaan Allah sehingga terbukti adanya “diri yang hakiki” yang kita hanya dapat merasakan dan sadari, bahwa diri yang yang keluar dari diri, sehingga kita dapat membuktikan dengan kesadaran yang hakiki tentang Kekuasaan Allah, tentang Rahasia Alam, tentang Alam Ghaib dan lain-lainnya.
· Ma’rifat (Rahasia Allah), adalah sampainya suatu tujuan sehingga terwujud suatu kenyataan dan terbukti kebe narannya (tidak diragukan lagi).
Dari bahasan tersebut diatas maka dapat kita simpulkan bahwa hamba yang akan berjalan menuju Allah swt, harus melalui tahapan-tahapan (marhalah-marhalah) yaitu melalui : Syari’at, Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat, atau dengan kata lain harus menempuh proses empat tahapan diantaranya :
– Pertama : Marhalah Amal Lahir artinya berkekalan melakukan amal ibadah baik yang wajib ataupun yang sunnah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw atau disebut usaha menghias diri dengan Syari’at.
– Kedua : Marhalah Amal Bathin atau Muraqabah yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh mensucikan diri dari maksiat lahir dan bathin (takhalli) dengan cara taubat dan istighfar, memperbanyak dzikir dan shalawat, menunduk kan hawa nafsu dan menghiasi diri dengan amal terpuji/mahmudah lahir dan bathin (tahalli) atau disebut menjalankan Thariqah.
Pada tahap ini, setelah hati dan rohani telah bersih karena terisi oleh taubat dan istighfar, dzikir-dzikir dan shalawat, maka dengan rahmat Allah datanglah Nur yang dinamakan Nur Kesadaran.
– Ketiga : Marhalah Riyadhah dan Mujahadah yaitu berusaha melatih diri dan melakukan jihad lahir dan bathin untuk menambah kuatnya kekuasaan rohani atas jasmani, guna membebaskan jiwa dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa-apa yang bersifat suci, sehingga akan beroleh berbagai pengetahuan yang hakiki tentang Allah dan kebesaran-Nya. Pada tahap ini, mulailah jiwa sedikit demi sedikit merasakan hal-hal yang halus serta rahasia, merasakan kelezatan dan kedamaian, dan merasakan nikmatnya iman dan taqwa dalam jiwanya. Kemudian selanjutnya datanglah kasyaf/keterbukaan mata hati, menyusul terbuka hijab sedikit demi sedikit sehingga sampailah ia kepada Nur Yang Maha Agung sebagai puncak tahap/marhalah ketiga. Nur ini dinamakan Nur Kesiagaan yakni kesiagaan dalam muhadarah bersama Allah. Tahap ini juga disebut Tahap Hakikat.
-Keempat : Marhalah Fana-Kamil yaitu jiwa si salik telah sampai kepada martabat syuhudul haqqi bil haqqi yakni melihat hakekat kebenaran. Kemudian terbukalah dengan terang berbagai alam rahasia baginya yaitu rahasia-rahasia ke-Tuhanan/Rabbani. Dalam pada itu berolehlah dia nikmat besar dalam mendekati Hadrat Ilahi Yang Maha Tinggi. Tahap ini juga disebut dengan Tahap Ma’rifat. Dalam situasi seperti inilah dia menemukan puncak mahabbah dengan Allah, puncak kelezatan yang tiada pernah dilihat mata, tiada pernah di dengar telinga, dan tiada pernah terlintas dalam hati sanubari manusia, tidak mungkin disifati atau dinyatakan dengan kata-kata. Pada marhalah ini sebagai puncak segala perjalanan, maka datanglah Nur yang dinamakan Nur Kehadiran.
SEKITAR MASALAH THARIQAT

Pada mulanya thariqat itu belum ada dalam agama Islam, akan tetapi, untuk memasuki dunia shufi atau tashawuf memerlukan suatu cara atau jalan agar dapat mencapai tujuan utama yang ingin dicapai seseorang dalam lapangan tashawuf. Dari situ maka timbullah cara pendakian dari suatu maqam  ke maqam lainnya yang disebut thariqat.
Timbulnya thariqat dalam tasyawuf pada mulanya disebabkan oleh adanya pengalaman dan pandangan para tokoh shufi yang beraneka macam meskipun pada hakkikatnya bertujuan sama. Jalan yang mereka tempuh untuk mencapai tujuan antara satu dengan yang lainnya berlainan,termasuk juga berbeda dengan yang ditempuh oleh ulama’ salaf, mutakallimun, dan para filosof.
Dalam hal tingkah laku orang-orang sufi, terdapat ciri-ciri yang sekaligus merupakan sifat dari mereka. Sebagaimana uraian tokoh shufi terkenal Abu Hafas  Syihabuddin Umar bin Muhammad bin Abdillah bin ‘Amawih As Suhrawardi yang mengatakan bahwa tingkah laku orang mutashawwifin ada dua sebagaimana terkandung dalam Al-quran (Q.S. Syura:13). Keadaan yang pertama adalah mahbubun-muroodun, yaitu orang yang dicintai dan di kehendaki tuhan. Yang kedua adalah jalannya orang yang disebut muhibbun muriddun, yaitu orang-orang yang cinta pada Allah dan menyiapkan dirinya menuju jalan Allah.
Selanjutnya thariqat atau jalan untuk memasuki tasawuf ada beberapa cara. Oleh karena kaum shufi dalam mencapai ma’rifat tidak dari kitab dan guru,  melainkan dnegan menjalankan dan melaksanakan tashawuf dengan segala latihan, maka thariqat yang ditempuh adalah:
1.    Tajarrud, yaitu melepaskan diri dari godaan dan ikatan dunia fana’ ini sebab dunia selalu melalaikan serta mengganggu manusia dalam beribadah kepada Allah.
2.    Uzlah, yaitu menyisihkan diri dari pergaulan masyarakat ramai, menjauhkan diri dari simpang siur pergaulan dunia.
3.    Faqr, yaitu tiada mempunyai apa-apa dalam kategori hitungan dunia.
4.    Dawamus sukut, yaitu tiada berkata kata yang tiada bermanfaat.
5.    Qilatul akli/dawamus shoum, maksudnya sedikit makan inklusif minum.
6.    Dawamus sahr/qiyamullail, maksudnya senantiasa berjaga-jaga diwaktu malam dengan memperbanyak berdikir, tashbih, tahlil, dan dzikir-dzikir lainnya.
7.    Safar, yaitu pergi berkelana, tana membaw bekal apa-apa. Di sini dimaksudkan untuk menyempurnakan ilmu dari ajaran thariqat yang diberikan gurunya.

B.     MENEMPUH JALAN TASAWUF
Setelah mengetahui secara sekilas cara-cara memasuki lapangan tashawuf, maka langkah selanjutnya adalah menempuh jalan tasawuf. Jalan tasawuf disini dimaksudkan adalah usaha pendekatan diri kepada Allah yang melalui beberapa pendakian dari satu tingkat ketingkat lainnya yang lebih tinggi.hal ini dimaksudkan agar dapat mencapai tujuan utama bertasawuf. Selanjutnya agar seorang shufi benar-benar dapat mencapai tujuan utama tashawuf itu, menurut kitab kifayatul atqiya’ maka harus menempuh langkah langkah sebagai berikut:
1.      Syari’at
Bagi kaum mutashawwifin sebelum memasuki lebih jauh pada inti pokok ajaran tasawuf, terlebih dahulu haruslah memahami secara mendalam masalah syari’at. Syari'at tidak bisa ditinggalkan karena syari'at adalah unsur pokok bagi unsur-unsur berikutnya. Antara syari'at, Thariqat, hakikat, dan ma'rifat  harus selalu berhubungan erat dan saling melengkapi. Dan thariqat tanpa syari'at jelas batal.
Dari keterangan-keterangan di atas,  jelas dimana letak dan kedudukan syari'at dalam thariqat. Maka, setiap shufi haruslah membekali diri dengan pengetahuan yang mendalam tentang syari'at. dan berimplikasi bahwa segala tindakan dan tingkah laku seorang shufi haruslah disesuaikan dengan syari'at Allah. Secara garis besar golongan tashawwuf dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu :
1.      Golongan Ahli Tashawwuf Murtaziqah, yaitu yang ajaran kebatinannya digunakan untuk mencari rizqi, baik dengan cara halal maupun haram, melalui thariqat, tirakat, semedi.
2.      Golongan Ahli Tashawwuf menyimpang, yaitu golongan para normal atau dukun yang bisa meramalkan masa depan dan bisa mengetahui masalah ghaib menurut pengakuan mereka, bahkan bisa berhubungan dengan makhluq halus. Pokoknya golongan ini banyak mencari nilai-nilai tashawwuf dari luar Islam.
3.      Golongan Ahli Tashawwuf Murni atau hakiki yang mengambil ajaran-ajaran akhlaq dari Allah dan Rasul-Nya atau dari Al Qur'an dan Hadits.
Pada akhirnya, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa syari'at adalah salah satu unsur yang harus dilaksanakan dalam hidup bertasawuf. Syari'at dan hakikat saling berhubungan dan saling mengisi dan barangsapa yang meninggalkan syari'at dalam bertashawuf dengan alasan apa saja, maka akan batallah amalnya, bahkan akan terjerumus kedalam kekufuran yang nyata.
2.      Thariqat
Thariqat menurut pandangan para ulama' Mutashawwifin, yaitu jalan atau petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW, yang dicontohkan oleh beliau dan para shahabatnya serta pada Tabi'in, Tabi'it tabi'in dan terus bersambung sampai kepada para guru-guru, Ulama', Kiyai-kiyai secara bersambung hingga pada masa kita sekarang ini.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh  Zainuddin bin Al.y Al MalibaryThariqat adalah suatu cara atau pendakian yang ditempuh oleh para ahli tashawwuf atau kaum mutashawwifin untuk mencapai tujuan.Dalam ilmu tashawwuf dikatakan bahwa "syari'at itu merupakan peraturan, thariqat itu merupakan pelaksanaan sedangkan hakikat merupakan keadaan dan ma'rifat merupakan tujuan yang terakhir.
Pelaksanaan dan cara untuk mencapai tujuan, antara satu dengan lainnya berbeda-beda. Perbedaan tersebut muncul diakibatkan sebab-sebab dari timbulnya thariqat itu sendiri. tujuan pokoknya sama dapatlah dikemukakan suatu contoh, misalnya mengenai masalah dzikir kepada Allah, dzikrullah. Ada thariqat yang mempunyai dzikir-dzikir tertentu dengan bersuara atau yang disebut dzikrul lisan, ada dzikir dzikrul Qalbi dan ada juga dikrus sir. Dari bermacam-macam cara ini pada hakikatnya tujuan utama thariqat ini tak lain adalah agar seorang hamba dapat mengenal Allahmenempuh jalan (Thariqat) untuk terbukanya rahasia dan tersingkapnya dinding (kasyaf), maka kaum shufi mengadakan kegiatan bathin, riyadlah (latihan-latihan) dan mujahadah (perjuangan) kerohanian. Perjuangan ini dinamakan suluk dan orang yang mengerjakannya dinamakan Salik.
Jelaslah bahwa thariqat itu suatu sistem atau metode untuk menempuh jalan yang pada akhirnya mengenal dan merasakan adanya Tuhan dengan menggunakan mata hatinya. Dan cara orang mutasywwifin untuk mendekatkan diri kepada tuhan dengan melakukan riyadlah, Mujahadah, seperti ikhlas, zuhud, tajarrud, dan sebagainya.
3.      Hakikat
Haqiqat adalah keadaan Salik sampai pada tujuan utama tasyawuf yaitu ma'rifat billah dan musyahadati nurit tajalli atau terbukanya nur cahaya yang ghaib bagi hati seseorangTajalli disini adalah terbukanya . nur cahaya yang ghoib bagi hati seseorang. Dan sangat mungkin bahwa yang dimaksud tajalli disini adalah yang Mutajalli yaitu Allah. Adapula sebagian ulama’ tashawufmengatakan bahwa yang dimaksud dengan hakikat itu ialah segala penjelasan mengenai kebanaran mutlak dari sesuatu, seperti syuhud dzat, asma, sifat, memahami rahasia-rahasia Al-Quran dan rahasia-rahasia yang terkandung dalam larangan maupun perintah Tuhan.


4.      Ma'rifat
Ma'rifat adalah mengenal Allah, baik lewat sifat-sifat-Nya, asma-asma-Nya maupun perbuatan-perbuatan-NyaDari akar ma'rifatullah, kemudian akan mempunyai cabang-cabang ma'rifat kepada Rasul, kepada Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-kitak suci-Nya, termasuk ranting- ranting-Nya yakni mu'jizat, keramat dan kewalian. Sedang puncaknya adalah ma'rifat akan kehidupan sesudah mati, dimana semua makhluq akan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jelasnya mencapai ma'rifat itu tidak cukup dengan jalanmelalui dalil-dalil atau bukan semata didapat melalui akal atau banyaknya amalan, akan tetapi ma'rifat billah dapat dicapai dengan pertolongan Allah, disamping berusaha mendapatkannyamelalui amal sholeh.

C.      CONTOH ANTARA MAQAM SYARI’AT SAMPAI MA’RIFAT
Dari keempat maqam tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahakan. Jika diantara keempat maqam tersebut tidak ada, maka akan sia-sia. Dapat dicontohkan disini, semisal mengerjakan shalat; Menurut syari'at, bila seorang akan bersembahyang, wajib menghadap kiblat, karena Al Qur'an menyebutkan : "Hadapkanlah mukamu ke Masjidil Haram (Ka'bah) di Makkah. Menurut thariqat, hati wajib menghadap Allah berdasarkan Al Qur'an : "Sembahlah Aku", menurut haqiqat, kita menyembah Tuhan seolah-olah Tuhan itu nampak, berdasarkan hadits Nabi: "Sembahlah Tuhanmu, seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya, maka sesungguhnya* Allah melihat engkau". Selanjutnya menurut ma'rifat, ialah mengenal Allah yang disembah, dimana dengan ' khusyu' seorang hamba dalam sembahyangnya merasa berhadapan dengan Allah.